Tidak ada kata untuk berhenti berjuang

Sepulang dari masjid, setelah memberikan sedikit pengetahuan tentang hukum-hukum seputar shalat, aku masih dihadapkan dengan sebuah pertemuan dengan para pengurus RW di lingkungan tempat tinggalku. Badan terasa sangat lelah. Aku duduk sejenak, dan kutengok anakku, dan ia mengatakan, “Aku lapar”.

Kulihat anakku membuka tutup nasi, kemudian menutupnya kembali. Ia kelihatan kecewa. Anakku kembali berbaring di depan televisi. “Sabar nak, aku nanti cari makanan.” Kataku. Ia tak menyahut. Aku merasa iba dan bersalah. Aku merasa gagal membngun ekonomi keluarga.

Kemudian aku menengok dua anakku yang kecil-kecil. Keduanya sedang sakit, dan belum sempat kubawa ke dokter, karena memang belum mempunyai uang cukup untuk ke dokter. Kukatakan kepada istriku,” Sabar dulu ya, Allah sedang menguji kita.”

Aku meninggalkan rumah lagi, karena sudah ditunggu oleh pengurus RW yang lain. Dalam musyawarah tentang air bersih itu, aku lebih banyak diam. Tak terasa aku tertuju kepada beberapa jenis makanan yang tersaji di depan kami. Aku ingat anakku yang berbaring di rumah dalam kondisi lapar. “Ya Allah, berilah kesabaran untuk anak dan istriku.”

Terkadang aku ingin berhenti beraktifitas untuk umum. Sering terlintas aku hanya ingin konsentrasi dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Tak lagi mengurusi keadaan di lingkungan rumahku. Juga tak lagi menjadi ketua RT, yang sudah kupegang untuk periode kedua ini.

Aku ingin mengurusi diriku, anak dan istriku saja. Aku ingin sekai lepas dari aktifitas kegiatan sosial. Mengurusi hal-hal seperti itu memang tak ada untungnya, dari sisi materi. Lebih banyak ruginya, kebaikanpun tak terlihat. Salah sedikit, warga terus menghakimi, tanpa melihat sisi kebaikan yang telah kita perbuat.

Apalagi saat ini, saat ujian Allah bertubi-tubi menghampiriku. Aku ingin sekai lari dari urusan-urusan ke RT-an dan ke-RW-an. Rasanya aku sangat bersalah dengan anak istriku dengan kondisi ini. Aku ingin lari, lari dan lari. Masih banyak orang yang secara ekonomi lebih pantas mengurusi ke-umat-an ketimbang diriku. Masih segudang orang di sekitarku yang secara intelektual lebih pantas untuk mengurusi hal kemasyarakatan.

Tapi, pernah suatu saat aku berhenti total dengan itu semua, malah hati ini menjadi tidak tenang. Masjid, seolah melambai-lambai terus padaku. Juga kegiatan lingkungan, seolah masih berteriak memanggil-manggil namaku. Padahal apa keuntungan materi yang bisa kita dapat dari itu semua?

Ahirnya, guru tafsir al Qur’an kami, suatu hari mengatakan.”Bagi orang beriman, tak ada kata berhenti untuk berjuang. Bagi orang beriman, tiada saat untuk beristirahat dalam berdakwah. Berhenti dan istrahatlah nanti di akhirat.” Kata alumni Timur Tengah itu dalam kajian mingguan.

Aku mencoba merenungi untaiankalimat indah dari guru kami itu, saat mengupas tuntas surat Attaubah yang berkaitan dengan semangat berjuangnya para sahabat Nabi. Kekurangan dalam ekonomi, kondisi kesehatan yang tidak stabil, suasana keamanan yang tak menentu, panggung politik yang carut-marut, bukanlah menjadi alasan para sahabat untuk berhenti berjuang mengikuti jejak Rasulnya.

Dalam kondisi yang sangat berat, baik itu dari sisi ekonomi maupun kondisi kesehatan anak-anak dan istriku, aku senantias a merintih pada-Nya. “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Berikanlah kekuatan dan kesabaran untuk anak-anakku dan istriku, saat aku keluar untuk mengikuti jejak Nabiku, Muhammad SAW.”


Purwokerto, Oktober 2011
http://www.eramuslim.com/oase-iman/suswoyo-tak-ada-kata-untuk-berhenti-berjuang.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan. Terima kasih.